Selasa, 23 April 2019

Cerpen: Jimmy Aku Ingin Mencuri Hatimu!


Sore yang syahdu. Hujan semakin deras. Teras rumahku basah oleh percikan air yang jatuh dari atap.

Meski demikian, aku enggan untuk masuk. Kubiarkan saja tubuhku dicumbui titik-titik air yang lembut. Entah mengapa, teras ini menjadi tempat favoritku.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku selalu ada di sana, melepas lelah sejenak sambil menatap alam terbuka terhampar di depanku.

Memang teras rumahku menghadap ke padang di ketinggian. Ada sedikit belukar dan pohon perdu yang mempesona di sana. Beberapa bunga bakung mekar di antara bunga liar lain yang tak ku ketahui namanya.

Udara yang segar membuat paru-paru berdendang riang oleh suplai oksigen yang memadai. Sesekali burung-burung beterbangan hinggap di dahan tumbuhan perdu.

Nyanyian burung kini terdengar lagi setelah hampir 20 tahun aku meninggalkan kampung halaman. Yah, aku memang memilih tinggal di tepian kota dekat hutan dan mamar*).

Dekat dengan alam yang selalu menggodaku untuk kembali melanjutkan hobiku yang nyaris terkubur sejak kesibukanku makin menyita energi. Main BandarQ

Hari semakin gelap ketika burung-burung malam mulai bernyayi dan kodok bersahutan di tepi kolam. Aku tersadar sebab udara kian dingin dan kabut perlahan mulai turun.

Lampu teras menyorot sehingga cahaya putih berpendar karena efek Tyndal pada kabut.

Orang-orang menyebut nama kampung ini Nainiti, tetapi aku lebih suka menyebutnya Nai Manikin yang berarti kampung dingin. Sebab udara di sini selalu sejuk meskipun di siang hari.

Aku bahkan senang memperkenalkan inisial NM, panggilan manisku buat kampung yang cukup eksotik ini.

Aku masuk ke kamarku. Kuraih jaket hitam tebal yang tergantung di sudut kamar. Aku benar-benar butuh kehangatan.

Segera setalah aku mengenakan jaket, aku duduk bersandar di ranjang tua peninggalan nenek.

Aku yang memilih ranjang itu, sebab aku akan selalu mencium bau nenek ketika berada di kamar. Aku juga senang membaca tulisan-tulisan nenek di kayu ranjang tua itu. Ada tanggal pernikahan ayah dan ibuku.

Di sana juga tertera nama cucu-cucunya. Nenek memang selalu begitu, ia menyimpan kenangan manisnya di ranjang tua itu.

Meskipun terlihat kotor dan kumuh, aku tetap menyukaianya. Satu hal yang membuatku paling bahagia, ada nama dan tanggal lahirku di sana. Di bawah namaku tertulis, "gadis yang kunantikan telah datang".

Oh..aku mencintaimu nek, sungguh. Aku selalu merindukannya, sebab ia tempat aku menumpahkan segala kesesakan dan gundah gulana hati. Main Domino99

***


Hari ini adalah hari yang paling berat untuk dilalui. Tekanan pekerjaan juga orang-orang yang kutemui membuatku semakin terpuruk dalam imajinasi kotor dan kekalutan mendera.

Namun aku harus kuat. Kukumpulkan energi untuk menyelesaikan sisa pekerjaan yang menunggu. Sebuah pesan masuk dalam telepon genggamku. Kuacuhkan saja sebab sedang merapikan meja kerjaku. Dan aku harus pulang sebab waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.

Kuraih tasku dan teringat jika ada sebuah pesan masuk. Segera kubaca, dan aku tersenyum. Inilah senyuman pertamaku sejak pagi.

Untaian kata yang dikemas dalam sebuah frasa penuh energi kembali memberiku sedikit harapan, setidaknya untuk bertahan hidup sampai malam ini. Dan aku pulang dalam senyuman yang penuh kedamaian.

Kata-katanya sungguh berenergi. Memberikan harapan baru tentang cara aku memandang kegelisahan.

"Ah, Jimmy, kapan aku mengenalnya?" Minggu yang lalu, tepatnya Kamis ketika hari sedang cerah dan angin bertiup perlahan. Ketika ruang kerjaku sedang hiruk pikuk oleh beberapa karyawan dan tamu yang hilir mudik.

Sekonyong-konyong ia datang dan berdiri di hadapanku. Kami bicara formal seadanya dan saling berbagi nomor untuk sebuah pekerjaan. Tak ada yang istimewa darinya. Aku bahkan tak lagi mengingat secara jelas raut wajahnya.

Aku semakin sering mendapat pesan penuh energi dari Jimmy. Dalam hati aku berterima kasih sebab masih ada orang peduli seperti dia di zaman ini. Perlahan aku mulai tersekap dalam candu tentang dirinya. Ah, aku malu sebab aku tak pantas untuk itu.

Namun semakin ingin ku berlari, semakin aku mengingat tentangnya, tentang apa yang ia tulis dalam pesan-pesan singkatnya. Main Poker

Aku tak peduli jika ia mengirim itu karena hasrat terselubung atau keinginan lain, namun aku hanya melihat niat hatinya untuk berbagi kesejukan dan kebijaksanaan.

Terkadang beberapa penggalan ayat Kitab Suci ditulisnya apik dalam sebuah bingkai sejuk, menambah pesona rangkaian aksara sarat makna. Aku malu, sebab aku bahkan jarang membaca Kitab Suci dan merasa asing dengan ayat-ayat itu.


Namun entah mengapa, isinya selalu saja cocok dengan apa yang sedang aku butuhkan. Bagaimana menghalau kegelisahan dan menerima orang lain sebagai teman dalam kasih dan cinta.

Tentang pengharapan akan kasih Tuhan yang tak boleh pudar meski sedang dalam kesesakan. Tentang ketegaran dan kepasrahan agar kita menjadi kuat untuk dapat melalui badai. Dan lainnya lagi.

Aku larut, berteduh di kehangatan yang menyapa, tentang dia yang tersamar rupa. Merajut sepi di harum senja, mengalung rindu esok menjumpa, meski hanya dalam untaian kata-kata.

Ruang dan waktu seolah kejam memagari semua gerak yang lelah melemah dan lunglai. Tuturnya menggelut dalam, kata-katanya bertikai, menikam jantung membelah ngarai.

Energi mengalir darinya, teteskan aroma mawar putih yang selalu kucium di saat pagi merekah.

"Ah, Jimmy, jangan katakan jika engkau telah mencuri hatiku." Aku ingin menulisi ruang kosong di beranda hatiku agar ia menjadi bernyawa dalam warna. Namun di batas malam ini aku harus berhenti dan membiarkan tubuh menikmati pesona mimpi, dalam sirkulasi dan metabolisme.

Aku benar-benar harus berhenti, untuk paru-paru yang mengembang, untuk jantung yang berdetak, untuk kaki yang menggulung, untuk tangan yang terkatup, untuk mata yang tak mengedip, untuk mulut yang mendiam, untuk kepala yang bersandar, untuk keteduhan malam dalam kesyukuran. Main Capsa

Dan aku mesti percaya tentang takdir. Tentang nasib dan keberuntungan. Kemudian aku berbisik perlahan pada diriku.

Jimmy, aku ingin mencuri hatimu dan membaca setiap kata yang tertulis di sana.

Meski kita berdiri di antara maya dan nyata. Aku ingin diam bermukim dalam sepi jiwa, di antara bebukitan berumput dan tumbuhan perdu, memandang jauh ke dalam kehidupan yang akan datang, di mana bersarang kebenaran yang hakiki.

Tentang Cinta Tuhan yang tak pernah aus, agar aku dapat menelisik dalam isi hati dan mengorek rahasia terdalam sanubari.

Untuk rasa yang pernah terjajah oleh amuk dan dengki, oleh dendam dan prasangka.

Aku ingin menemukan hikmat dan pengertian dalam rasa yang tak pernah pudar.

Demikianlah kau selalu menulisi tubuhmu dengan kebaikan, kau oret sudut-sudut yang menonjol. Bahasa di tubuhmu menjelma ruas-ruas kebenaran, tentang daya yang memampukan. Main Sakong

Darinya terlahir buah kejujuran tentang hati dan rasa. Kau setia seperti waktu, seperti malam meminang fajar, sabar merenda helai-helai pengertian dalam jejak satu rentang masa sampai kau benar-benar mengerut dan akhirnya tiada. Kau kan tinggalkan kisah menyerpih di kaki pena. (*)

*) Mamar : kebun yang mengelilingi sumber air (bahasa Dawan)


ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
 

Delivered by FeedBurner