Wanita itu datang ke rumah Asri pukul enam sore. Asri, yang sedang mengerjakan pesanan baju dengan mesin jahit, nyaris tertusuk jarum saking kagetnya. Tanpa didahului bunyi atau pun gerakan, tahu-tahu wanita itu sudah berada di ruang tamu. Dia melayangkan pandangan ke seluruh ruangan: pada sofa yang warnanya pudar, pada foto mendiang suami Asri di dinding.
"Ibu mau pesan baju?" Asri menjumput karet rambut dari saku daster dan mengucir rambutnya. Sambil berdiri dari kursi, dia menutupi rasa heran. Wanita itu tidak membawa kantong atau tas yang bisa diisi kain, hanya sebuah dompet hitam.
"Sore begini masih kerja," ujar wanita itu. Sosoknya jangkung, dibalut kaus rajutan lengan panjang dan rok. Asri yang bertubuh mungil tidak sampai setinggi pundaknya. "Banyak pesanan, Mbak?"
Sejak dia masuk, suasana di luar menjadi kelam, segelap pukul sepuluh malam. Ramainya kendaraan di jalanan depan rumah dan dentang bel pelintasan kereta api berubah sayup-sayup. Atau Asri yang terlalu lelah sampai-sampai indranya kacau? Main BandarQ
"Iya, lumayan," jawabnya. "Pesanan dari kenalan, tetangga, dan teman-temannya kenalan."
Asri merasa tidak perlu memerinci bahwa kini makin sedikit orang yang memesan baju padanya. Pakaian di toko semakin bagus dan beragam, bisa dibayar dan dipakai di hari yang sama. Sementara itu, biaya SPP dan keperluan sekolah Diko, putra tunggalnya, membengkak dari tahun ke tahun. Uang kompensasi dari perusahaan, yang dibayarkan setelah suami Asri tewas akibat kecelakaan di pabrik, sudah lama habis.
Malam ini Diko menginap di rumah temannya. Belajar dan nonton DVD bareng, demikian dia mengaku. Belakangan ini Diko makin sering menginap dan pulang malam. Kadang Asri cemas, jangan-jangan Diko mengonsumsi narkoba.
Bunda, tuh, nuduh tapi ngasal! tukas Diko. Narkoba itu mahal! Duit dari mana, metik di pohon tauge?
Diko benar. Bahkan selagi ayahnya masih hidup, dia hanya sesekali punya cukup uang untuk pergi bersama teman-temannya. Asri seharusnya bersyukur, Diko tidak terlibat tawuran atau tindakan kriminal. Meski begitu, dia ingin Diko menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Berjam-jam menjahit di rumah, seorang diri dan tiap hari, sering membuat Asri kesepian.
Cari teman, Bun, cetus Diko suatu ketika. Cari ayah baru buat aku, biar ada yang kasih uang jajan. Hanya saja, tidak pernah ada pria yang menunjukkan minat melamar Asri. Dia pun memilih tidak memusingkan hal itu, dan berkonsentrasi penuh pada pekerjaan.
"Tahu tentang saya dari siapa, Bu?" tanya Asri pada wanita jangkung itu.
Alih-alih menjawab, wanita itu membuka dompetnya. Dia mengeluarkan sesuatu, lalu mengangsurkannya pada Asri. Dengan bingung, Asri menerima benda itu dan mengamatinya.
Benda itu sebuah wadah jarum dari kaca tipis. Bentuknya bundar, seukuran telapak tangan Asri, dan isinya sekitar dua lusin batang jarum. Di tepi tutup wadah, terdapat lubang kecil tempat jarum dikeluarkan. Main AduQ
"Ganti jarum di mesin jahit Mbak dengan jarum dari wadah ini," kata wanita itu.
Kening Asri berkerut. "Buat apa? Jarum saya masih bagus…"
"Ganti. Sekarang juga."
Suara wanita itu bergaung, serasa menyelusup ke tiap sel di tubuh Asri. Merasa terbius, dia melepaskan jarum dari mesin jahit. Dia mengguncang wadah, dan sebatang baja tipis meluncur keluar dari lubang di tepi tutup. Jarum itu terasa halus di kulit Asri, seringan serpihan kaca. Dengan saksama dia memasangkannya di mesin jahit.
Selama Asri bekerja, wanita itu mengawasinya. Ketika jarum dari wadah sudah terpasang, dia tersenyum. Melihat senyum itu, Asri agak gelisah; dia merasa seperti tikus yang kakinya terjerat dan diintai kucing.
"Semua jarum di wadah bisa dipakai," kata wanita itu. "Satu sama dengan tujuh. Kecuali jarum terakhir." Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Asri. Main Sakong
Tercengang, Asri hanya bisa menyaksikan wanita itu keluar dari rumah. Lalu dia tersentak dan bergegas menuju pagar. Di tengah deru kendaraan dan kereta api yang lewat, dia menoleh ke kanan dan kiri. Namun, di sekitar rumahnya tak ada wanita berkaus rajut. Andai pun ada, wanita itu sudah ditelan kegelapan.
Masih dengan bingung, Asri kembali duduk di kursi. Tangannya meraih kain yang sedang dia jahit, dan memegangi kain selama beberapa saat. Dia berpaling ke pintu, tapi tentu saja wanita itu tidak kembali lagi.
Siapa wanita tadi? Orang iseng yang gemar mengerjai orang tak dikenal, atau perampok yang menyelidiki calon korban? Namun, Asri hanya penjahit yang belum tentu mendapat pesanan tiap pekan—bukan target ideal bagi perampok. Sudahlah. Lebih baik dia berhenti melamun dan menggarap pesanan ini, daripada Diko tidak mampu melunasi SPP bulan depan.
*
Tiga hari kemudian, Bu Nofa mengambil pesanan bajunya. Wajahnya yang biasa kecut, seolah dia selalu menghidu bau kentut, kini penuh seri. Berkali-kali dan dengan ceria dia memuji hasil kerja Asri. Main DominoQQ
"Rapi betul, Bu Asri! Keliman sama jahitannya enggak kalah dari bikinan toko. Anak saya bakal senang, nih! Dia mau pakai baju ini ke pesta ulang tahun gebetannya. Yah, anak umur segitu, yang paling penting cari perhatian gebetan."
Asri manggut-manggut, sedikit iri. Diko tidak pernah bercerita tentang kegiatannya sehari-hari: pelajaran apa yang dia sukai dan hindari, atau teman yang dia taksir. Andai saja Asri rutin membelikan baju baru, misalnya, mungkin Diko sudi bersikap lebih terbuka.
Dari dompetnya, Bu Nofa mencabut beberapa lembar uang lima puluh ribu. Nilai totalnya lebih dari dua kali lipat biaya jasa Asri. Mengira Bu Nofa salah hitung, Asri menggoyangkan tangan tanda menolak.
"Kebanyakan, Bu Nofa…"
"Buat Diko, Bu! Siapa tahu dia punya gebetan juga. Dia bisa kasih hadiah, atau ke pesta pakai baju baru. Ya? Ayo, diterima!"
Kemurahan hati Bu Nofa ini mengawali transformasi hidup Asri. Setelahnya, pelanggan makin banyak dan mereka selalu membayar dengan uang melimpah. Kebutuhan harian dan uang sekolah bukan lagi momok bagi Asri. Dan, kendati dia menjahit sambil mengantuk, hasilnya selalu apik—selama dia menggunakan jarum dari wadah jarum.
Satu sama dengan tujuh, kata wanita berkaus rajut itu. Tiap jarum hanya bisa dipakai untuk mengerjakan tujuh baju, lalu patah dengan sendirinya. Maka Asri pun menghemat pemakaian jarum dari wadah. Walau begitu, dia sudah merasa tercukupi, sampai tidak lagi bertanya-tanya siapa wanita itu dan apa tujuannya.
*
Bila Asri kangen mendiang suaminya, itu semata-mata karena dia ingin berbagi kebahagiaan. Berkat wadah jarum, dia mampu membeli mesin jahit baru. Diko, yang diterima di universitas negeri, akan magang di perusahaan multimedia terkemuka. Namun, yang paling menggembirakan Asri adalah perubahan sikap anaknya.
Sebagai ganti protes dan keluh-kesah, Diko rajin menghadiahi Asri dengan peluk cium. Terutama bila Asri menyerahkan uang keperluan kuliah dan jajan. "Jago banget Bunda cari uang," puji Diko. "Coba dari dulu!" Main Capsa
Wadah jarum tinggal berisi satu batang. Sudah beberapa bulan Asri memakai jarum biasa; nyaris semua isi wadah jarum terpakai untuk biaya Diko masuk universitas dan kuliah. Asri pun tidak berencana memakai jarum terakhir. Hasil menjahit dengan jarum biasa dan tabungannya sudah memadai untuk keperluan sehari-hari.
Suatu hari, Diko menunjukkan foto sebuah kamar di layar ponselnya. "Bun, kantor tempatku magang lokasinya jauh. Sudah di Jakarta, jalan ke sana lewat daerah macet. Capek kalau bolak-balik tiap hari! Ini foto kamar di rumah kos dekat kantor. Kakak tingkatku ada yang tinggal di situ, katanya nyaman."
Membaca daftar fasilitas kos yang superlengkap, Asri yakin rumah kos ini menyasar pegawai tetap, bukan anak magang. "Mantap niat kamu kos di sini?"
"Mantap. Talangi dulu, Bun." Diko menyebutkan harga sewa. "Dikali tiga buat tiga bulan pertama, biar nggak diserobot orang lain. Mau, kan?"
Dana cadangan Asri tidak mencukupi untuk permintaan Diko. Uang tabungan lebih baik dia simpan untuk hal-hal darurat. Untungnya, masih ada jarum terakhir dari wadah jarum—
Kecuali jarum terakhir. Ucapan wanita itu menggema dalam ingatan Asri. Maksudnya apa? Pada kali ketujuh dia memakai jarum terakhir, pelanggan membayar seharga biasa dan tidak berlebih?
Yah, tidak apa. Asri bisa menambal kekurangan itu dengan dana cadangan. Asalkan Diko senang dan tidak menggerutu lagi, dia rela menempuh cara apa pun. Main Poker
Seperti biasa, enam baju jahitan Asri hasilnya cantik dan para pelanggan membayar berkali-kali lipat. Sambil bernapas lega, Asri mulai mengerjakan baju ketujuh. Dia siap begadang agar baju ini cepat selesai, dan Diko bisa mulai menempati kamar kos.
Malam sudah larut, dan Asri tinggal menjahit lengan baju. Setelah mengepaskan posisi kain di bawah jarum, dia menjelujurkan benang pada kain. Dia sedang berhenti sebentar, meregangkan bahu, saat terdengar teriakan dari kamar Diko.
Kaget, Asri melompat dari kursi. "Diko?"
Sekali lagi Diko berteriak. Nadanya sama ngeri dengan perasaan Asri, dan bunyinya aneh, seakan dia berteriak dengan muka dibekap. Lekas-lekas Asri berlari ke kamar Diko, nyaris menginjak baju yang terjatuh ke lantai.
Putranya setengah telentang di tempat tidur dengan badan mengejang. Bola mata Diko berputar ke segala arah, lalu membelalak ke pintu. Mula-mula Asri tak mengerti apa yang terjadi. Lalu jantungnya berdentam keras. Main Bandar66
Mulut Diko terjahit. Begitu rapat, sampai menjadi garis lurus belaka. Benang yang menjahitnya putih, sewarna dengan benang yang Asri pakai barusan.
Selagi Asri tertegun, benang putih menyembul di kelopak mata kiri Diko dan mulai menjahitnya sampai tertutup.
Gemetar, Diko mengulurkan tangan pada Asri, seperti meminta tolong. Lewat sorot mata kanannya, dia mencoba berkata sesuatu. Namun, Asri tak sempat mengartikan sorot mata itu, sebab dia tengah menjerit dan menjerit.
**