Minggu, 21 April 2019

[ CERPEN ] 22 Janji


Cahaya di ujung lilin itu semakin temaram. Asha yakin jika ada sedikit saja angin menyelonong lewat jendela dan bertiup ke arahnya, api kecil itu akan padam. Batang lilin yang terletak di atas kue berlumur cokelat itu sudah memendek. Seharusnya lilin itu cukup terbakar sumbu atasnya saja, tapi ternyata malam ini dia harus berfungsi semestinya.

Asha menyandarkan punggung ke sofa. Sekeliling ruang tamu itu remang, terangnya hanya berasal dari lilin dan lampu yang menyala di luar sana. Namun dengan jelas dia bisa melihat beberapa foto di dinding itu, sosoknya dan seorang pria yang dicintainya selama ini, Rimba. Dua tahun menjalin hubungan dengan Asha, Rimba sama sekali tak pernah ingkar janji atau terlambat. Dia adalah pria paling tepat waktu yang pernah dia kenal. Main Domino99

Setiap muncul bunyi, dia langsung menengok ke arah jendela, berharap muncul sosok ramping tegap dengan rambut ikal diikat dan ransel besar di balik punggungnya. Berulang kali muncul berbagai suara sepanjang malam itu, tapi tidak satupun yang mengiringi kehadiran Rimba menuju pintu rumahnya. Di telepon genggamnya, nama Rimba sudah memenuhi daftar panggilan keluar. Seperti biasa, ponsel Rimba jarang aktif, ia sering lupa untuk menyalakannya kembali seusai mengelana di bagian dunia yang tak terjangkau sinyal. Asha juga sudah menelepon, Antares, teman dekat kekasihnya, akan tetapi lelaki itu juga tidak tahu di mana keberadaan Rimba sekarang.

Memang selama ini Rimba sudah berkali-kali mengingatkan Asha akan pilihan hidup yang dilakoninya itu. Darah petualang dan gairah mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi dan ekstrim itulah yang membuat Asha kagum akan Rimba. Bagi Asha, Rimba adalah seseorang yang selalu bisa dibanggakannya. Rimba tidak lupa memperingatkan Asha tentang mungkin dia bisa hilang dalam ekspedisinya di belantara Borneo, atau dia bisa saja terbanting ketika sedang memanjat tebing di sisi gunung-gunung di Papua. Selama ini, Rimba selalu memenuhi janjinya untuk kembali, meski kadang dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.

“Aku akan memenuhi janjiku yang ke-22. Janji untuk pulang kepadamu, Asha, tepat di ulang tahunmu yang ke-32.”

Malam itu, Asha tidur dengan hati penuh gulana. Kue tar cokelat istimewa buatannya itu sama sekali tak tersentuh. Benaknya dipenuhi dengan kekhawatiran akan kondisi Rimba. Pelan-pelan air mata turun dari sisi matanya. Ia merasa tidak punya hati sebesar itu untuk menerima kabar buruk di hari ulang tahunnya. Main Bandar Poker


**

Ponsel menjadi benda yang pertama dicari Rimba ketika sadar. Rimba mengamati sekelilingnya, ruangan itu terasa asing. Akan tetapi dari hiruk pikuk yang didengarnya, Rimba tahu sekarang ia ada di sebuah rumah sakit. Di kepalanya masih terbayang detik-detik sebelum ia terperosok ke tepian tebing itu dan kemudian jatuh. Rimba menghela napas, mendengarkan nada tunggu dari nomor yang sedang dihubunginya itu. Main Sakong

Hampir saja dia tersedak saat melihat tanggal di layar ponsel itu tadi. Rimba pikir baru sehari berlalu dari ultah Asha yang terlewat. Rimba ingat kejadian jatuhnya terjadi sehari sebelum kepulangannya. Sekarang sudah enam hari berlalu dari waktu tersebut. Tidak banyak yang tahu jika Rimba ada di sini sekarang, tidak juga Tya, tetangga dan teman baik Rimba, atau Antares, sahabatnya. Semua pikiran itu terhenti ketika, nada tunggu itu sudah berhenti menjadi nada sambung.

“Halo.”

Rimba bisa mendengar lagi suara Asha yang sangat dirindukannya.

“Asha….”

“Rimba,” pekik Asha dari seberang sana.

Hanya dengan satu panggilan pendek dari Rimba itu, tiba-tiba saluran telepon itu dipenuhi tangisan yang paling tidak ingin Rimba dengar. Selama beberapa menit, Rimba hanya diam dan sesekali menyela isakan Asha dengan pinta untuk berhenti menangis. Dadanya sesak, mulai berpikir kalau saja hari itu dia tidak perlu pergi ke tempat ini. Dia mendapatkan tawaran ke sini dari salah seorang temannya. Karena Dia berpikir kesempatan mengunjungi tempat ini mungkin tidak akan datang dua kali, maka Rimba langsung mengiyakannya. Dengan yakin, Rimba mengalkulasi jika ia bisa tiba di Jakarta pada malam hari ulang tahun ke-32 Asha. Main AduQ

“Aku baik-baik saja, Asha,” ujar Rimba.

“Aku benar-benar takut, Rimba. Aku mikirin kamu terus. Aku khawatir banget,” sahut Asha.

“Maafin aku ya.”

“Gimana kondisi kamu?”

“Aku baik meski badanku masih sakit-sakit semua. Aku butuh kamu nih di sini.”

“Aku pengin sekali ada di situ….”

Asha sudah ingin menumpahkan kekhawatirannya lagi saat telepon itu putus dengan mendadak. Asha menunggu telepon masuk lagi, tapi tidak ada satu pun nomor yang muncul di layar ponsel Asha. Juga, Asha sudah berusaha menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata tidak diangkat lalu tidak tersambung. Asha tidak tahu apa yang terjadi dan tidak bisa mengira-ngira. Ia hanya berdoa jika Rimba baik-baik saja.



**

Pada hari ini, setelah enam bulan hadiah yang juga seharusnya menggenapkan 22 janji yang dibuat Rimba ke Asha, akhirnya Rimba putuskan untuk memberikannya. Meskipun ia masih kecewa dengan keputusan Asha. Namun sisi hatinya yang lain selalu menghibur, mungkin itu adalah pilihan yang terbaik bagi mereka berdua. Rimba tahu, ia tak bisa lagi jadi pria kebanggaan Asha dengan kaki cacat seperti ini. Ia bukan lagi petualang yang selalu dinanti-nantikan Asha untuk datang ke rumahnya. Hari ini, Rimba memutuskan untuk datang ke rumah Asha.

Melihat rumah itu seakan kenangan demi kenangan memenuhi kepala Rimba. Di rumah itu, Asha hanya tinggal sendiri bersama pembantunya, sementara orang tuanya tinggal di luar kota. Rimba ingat ketika pertama kali mencium Asha di balik pagar kayu tinggi itu. Dia juga tidak bisa lupa suatu malam ketika Asha menghitung jumlah seluruh bekas luka yang tersebar di tubuh Rimba. Mereka berdua menghabiskan banyak waktu menyenangkan di rumah itu. Banyak sekali sampai Rimba tidak bisa mengingat semuanya dan hal itu membuat dada Rimba terasa sesak. Main Bandarq Ceme

Kenangan menyesakkan lagi bergulir turun dalam ingatan Rimba. Memori itu bahkan baru berumur dua minggu. Rimba menelan ludah saat mengingat-ingat lagi senja itu di halaman belakang rumah Rimba yang besar. Mereka berdua duduk dalam keheningan, persis seperti dua orang asing. Padahal di antara mereka sudah tersaji teh chamomile dengan madu sepiring macaron kesukaan Asha.

“Rimba….”

Rimba tidak membalas.

“Aku ingin minta maaf.”

“Kenapa?” Perasaan Rimba mulai tidak enak saat Asha mengucapkan kalimatnya tadi.

“Aku akan pindah. Aku akan tinggal bersama orang tuaku lagi. Sekarang aku sedang memproses pengunduran diriku dari kantor.”

“Nanti kamu sering-sering ke sini ya.”

“Entahlah Rimba, mungkin aku nggak bisa sering-sering ke sini. Di sana kan aku kerja juga.”

Rimba mengerti, namun ia hanya menghela napas panjang. “Aku pasti kesepian di sini. Aku bakal kangen kamu.”

“Aku juga,” ujar Asha pelan sekali.

“Kamu memang lebih baik di sana. Di sini aku juga kesusahan menjaga kamu.”

Asha tidak menanggapi apa-apa.

“Kamu bisa memulai hidup baru di sana, Asha. Bisa mencari orang lain yang bisa menjaga kamu. Aku tidak akan mengekangmu di sini, memenjaramu dengan kondisiku yang terbatas. Kamu tahu, kalau melepaskanmu bisa membuatmu bahagia, aku pasti akan melakukannya.” Main Capsa

Dibantu oleh sopirnya, Rimba turun dari mobil. Pagar rumah itu terbuka, Rimba tahu kalau Asha pasti ada di dalam sana. Akan tetapi, Rimba sama sekali tidak berharap bisa bertemu dengan Asha. Rimba mendorong kursi rodanya melintasi halaman kecil hingga sampai di pintu. Di situ, Rimba tertegun sesaat sambil memegangi kotak kecil dan buket bunga mawar merah kesukaan Asha di pangkuannya. Rimba tahu benar apa yang ada di dalam kotak itu. Diletakkannya kotak kecil dan buket bunga itu perlahan ke depan pintu rumah Asha. Cincin itu memang untuk Asha. Meski awalnya Rimba maksudkan sebagai cincin yang akan dia berikan ketika melamar Asha. Hal itu tidak mungkin lagi sekarang, realita berubah cepat, termasuk hati manusia.

Dua puluh dua janji itu pun tak pernah tergenapi.


ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
 

Delivered by FeedBurner