SEPERTI kampung kebanyakan, kehidupan di sebuah kampung berjalan sangat biasa. Tidak ada yang begitu istimewa. Pagi-pagi ayam berkokok seperti biasa. Para warga bangun dan beraktivitas seperti biasa. Ada yang ke ladang, ke sawah dan ke gunung. Semuanya berjalan seperti biasa, seperti di kampung-kampung lainnya dan seperti di hari-hari sebelumnya.
Namun semua kehidupan yang biasa itu seperti menemukan akhir zamannya. Kesedihan yang paling sedih tumpah ruah di semua wilayah kampung. Sebuah berita duka datang dari kepala kampung, seorang yang paling mereka cintai dan sayangi sudah dijemput malaikat maut dan pergi ke kehidupan yang lain. Semua warga kampung bersedih dan bersimbah air mata, bahkan rumput-rumput pun layu dan pohon-pohon menggugurkan daunnya. Sekarang tidak ada yang lebih membuat mereka sedih selain kematian kepala kampung.
Kesedihan itu tetap berlanjut sampai ketika tubuh kaku kepala kampung dimakamkan dan diam selama berhari-hari di dalam makam. Para warga tenggelam dalam mengheningkan cipta yang begitu dalam. Mereka seperti kehilangan bagian terpenting dari hidup mereka, seorang pemimpin yang paling bijak dan arif. Mereka seperti kelihatan ragu-ragu sekaligus cemas, apakah akan ada yang bisa memimpin kampung mereka seperti kepala kampung mereka yang lama.
Sebuah bencana datang dan terjadilah demikian. Di suatu pagi, warga kampung tetap bangun tidur seperti cara mereka biasanya bangun tidur, tetapi yang bangun hanya anak-anak kecil, bapak-bapak dan juga ibu-ibu, sedangkan anak-anak muda masih saja tertidur mungkin ada beberapa mimpi yang belum selesai.
"Kenapa anak-anak belum bangun?" tanya seorang bapak pada istrinya.
"Ahh, biarkan saja mereka tidur. Kampung kita sudah terlalu menderita kerana meninggalnya kepala kampung. Janganlah kau tambah penderitaan mereka dengan mengganggu tidur mereka."
"Tapi ini tidak biasanya. Lagi pula matahari sudah semakin meninggi. Jangan ajarkan anak-anakmu hidup begitu. Tidak baik."
"Pak, apakah kau juga mau melihat aku menderita karena melihat anak-anakku yang menderita karena tidur mereka diganggu. Cobalah pak, jangan menambah-nambah lagi penderitaan."
"Sudahlah."
Maka anak-anak muda itu tetap tidur dan terlelap. Bukan hanya anak-anak muda dari bapak ibu yang berdebat itu saja yang tetap tertidur, tetapi anak-anak muda di semua rumah, di satu kampung.
Anak-anak muda itu tetap tidur hingga sore. Para bapak yang mulai naik darah karena anak-anaknya bermalas-malasan begitu hendak membangunkan mereka dan memberi mereka sedikit pelajaran. Sudah orang kampung, bermalas-malasan pula, anak-anak macam apa yang begini.
"Hey, bangun!" Seorang bapak membentak kasar anaknya.
"Hey, bangun! Anak macam apa kau ini. Sudah sore masih saja tidur. Bangun! Kau belum makan pagi, kau belum makan siang, kau belum ke gunung mencari kayu, kau belum memberi makan kambingmu. Apa kau tidak lapar? Apa kau tidak mau bekerja?
Yang dibentak hanya diam dan tetap tidur. Bapaknya hampir saja menggunakan cara kasar sebelum menyadari tubuh anaknya yang panas dan menggigil.
"Ya ampun. Dasar tidak berguna! Sudah orang kampung, sakit pula. Ibu….. urus anakmu ini. Macam tidak ada hal lain saja selain sakit.
Anak muda yang tidur hingga sore itu ternyata sakit. Dan bukan hanya dia yang dibentak bapaknya saja, tetapi semua anak muda di semua rumah, di satu kampung.
***
Awalnya memang hanya demam biasa. Namun, lama-kelamaan sakit para anak muda itu mulai kelihatan aneh. Mereka bahkan tidak hanya menunjukkan bagaimana orang sakit harus berkelakuan, tidur, merengek manja, tetapi mereka mulai berkelakuan seperti orang gila.
Ada yang mencerca tidak jelas, omong sana-sini seperti penjual obat keliling, ada yang hanya tertawa terus sambil sesekali pura-pura bersedih, ada yang berlari dari ujung ke ujung kampung, ada yang memukul diri sendiri dengan kayu atau batu, ada yang terus mengucapkan puisi-puisi cinta. Pokoknya, semua jenis tingkah laku gilanya orang gila di seluruh dunia seperti terwakilkan semuanya di kampung ini. Seperti toko serba ada, tapi di kampung ini orang gila yang serba ada.
Lain ceritanya lagi kalau mereka saling bertemu. Akan timbul suatu perdebatan yang ramai kalau orang yang selalu mencerca bertemu dengan orang yang selalu mengucapkan puisi-puisi cinta. Orang yang selalu tertawa akan bonyok kalau bertemu dengan orang yang selalu memegang batu atau kayu untuk memukul dirinya, dia selalu merasa tersinggung karena ditertawai. Lain lagi dengan orang yang selalu berlari dari ujung ke ujung kampung, bertemu dengan siapa saja dia terus berlari. Segala halangan dan rintangan yang coba menghadangnya takkan menghalangi tekadnya untuk terus berlari.
Semua orang muda di kampung itu sudah menjadi gila. Kegilaan mereka bahkan telah membuat takut para orang tua dan adik-adik kecil mereka. Para orang tua merasa begitu terpukul melihat anak-anak mereka menjadi gila dalam waktu yang begitu singkat.
Mereka lebih terpukul lagi karena mereka tidak tahu mengapa anak-anak mereka menjadi gila. Setiap hari mereka hanya menangis. Sampai air mata mereka habis pun, mereka tetap menangis.
Melihat begitu kacaunya kampung lantaran orang gila yang begitu banyak, istri kepala kampung yang merasa memegang mandat kepemimpinan, mendatangkan begitu banyak tabib dan dukun dari luar kampung. Tabib-tabib dan dukun-dukun itu datang dengan keahlian mereka masing-masing. Ada tabib yang ahli mengatasi sakit saraf, ada tabib yang ahli di bidang obat-obatan verbal. Ada dukun yang mampu melihat kembali masa lalu, dia adalah orang yang mampu melihat penyebab-penyebab kejadian yang tak kelihatan oleh manusia. Ada dukun yang mampu mewaraskan orang gila dan dia telah mewaraskan begitu banyak orang gila di banyak kampung.
Ada dukun yang jago santet, ada pula yang mampu berkomunikasi dengan roh-roh halus. Semua tabib dan dukun yang paling hebat didatangkan oleh istri kepala kampung untuk mengembalikan lagi situasi kampungnya seperti yang dulu. Namun, hasilnya nihil. Tabib-tabib dan dukun-dukun itu malah tak lebih dari orang gila di depan orang-orang gila itu. Mereka tetap gila. Dan para tabib dan dukun itu pun nyaris dibuat gila oleh mereka. Kehebatan dan kesaktian mereka dipatahkan hanya oleh orang-orang gila.
"Kegilaan macam apa ini? Tidak ada kegilaan yang lebi gila dari kegilaan anak-anak muda ini." Keluh seorang dukun.
***
Karena tidak ada yang bisa mewaraskan lagi orang-orang gila itu, mau tidak mau, suka tidak suka, para orang tua akhirnya hanya bisa pasrah melihat anak-anak mereka hidup sebagai orang gila. Sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan hati orang tua selain melihat anak mereka hidup dalam kegilaan. Mereka tidak bisa lagi memimpikan anak mereka yang mengenakan pakaian pegawai negeri. Mereka tidak lagi bisa membayangkan anak mereka pulang ke rumah dengan mengendarai mobil. Semua mimpi mereka hilang lenyap dimakan semua kegilaan ini.
Setiap harinya, akhirnya mereka hidup di tengah orang-orang gila. Kampung mereka tak ubahnya sebuah rumah sakit jiwa. Oarng gila berseliweran di mana-mana. Ujung-ujungnya mereka tidak bisa melaksanakan aktifitas mereka dengan baik. Saat mereka hendak pergi bertani, cangkul mereka sudah hilang dibawa pergi. Saat hendak keluar rumah, sandal mereka sudah hilang sebelahnya. Belum lagi, orang-orang gila itu sering masuk ke rumah-rumah warga dan berbuat apa saja yang hendak mereka perbuat. Pakaian diambil seenaknya, piring-piring dipecahkan , dinding-dinding rumah dicoret semaunya. Bahkan mereka juga sering memukul penghuni rumah yang mereka masuki. Setelahnya mereka lari dan tertawa pula. Begitulah orang gila. Diceramahi pun tidak ada gunanya.
Warga-warga yang waras, orang-orang tua dan anak-anak kecil, lama-kelamaan mulai terbiasa dengan kehidupan yang gila itu. Mereka sudah bisa membiarkan diri mereka hidup membaur dengan orang-orang gila itu. Mereka mencoba untuk hidup seperti biasanya sambil sesekali bertingkah gila kalau bertemu orang gila. Orang gila senang melihat sesama orang gila.
Tugas orang-orang tua kemudian hanya satu: tidak membiarkan anak-anak kecil mereka yang tidak gila berhubungan dan bahkan melihat kakak-kakak mereka yang gila, supaya barangkali suatu saat mereka tidak ikut-ikutan gila.
Di suatu pagi, istri kepala kampung memanggil semua warga yang warga yang waras untuk berkumpul di halaman rumahnya. Ia hendak menyampaikan sesuatu.
"Semalam, saya mengalami mimpi yang aneh dan di mimpi itu, saya bertemu dengan suami saya, kepala kampung kita. Dia datang dan berkata kepada saya: kenapa kehidupan kalian menjadi seperti ini? Orang gila di mana-mana, sedangkan kalian tidak berbuat apa-apa. Apakah tidak ada yang bisa membuat kampung kita menjadi lebih baik?
Asal kau tahu saja, sewaktu hidup saya sungguh bersusah payah berkompromi dengan para leluhur yang mulai murka melihat anak-anak muda kita yang hidup asal-asalan.
Para leluhur bahkan pernah hampir membinasakan semua anak muda di kampung kita. Mereka sudah tidak lagi mencintai kampung kita. Mereka lebih suka nongkrong dan mabuk-mabukan daripada duduk berkumpul dengan orang-orang tua sekadar bercerita tentang sawah dan hasil panen.
Mereka lebih senang membahas tentang hari ini mau ke mana daripada soal ramalan cuaca dan musim buah-buahan. Mereka tidak tahu lagi menyanyikan lagu-lagu adat.
Jadi, harus ada yang membuat mereka pulang ke jalan yang benar. Kalau tidak, kampung kita akan menjadi gila semuanya dan selamanya."
Semua orang yang mendengar hal itu kebingungan.
"Kegilaan macam apa lagi ini. Jangan-jangan istri kepala kampung juga sudah gila. Dan siap gilalah kita semua." Sergah seorang bapak.
***
Sementara di sebuah rumah, seorang anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar sedang belajar membaca di samping kakaknya yang gila. Dengan susah payah anak itu mengeja setiap kata dari buku pelajaran sekolahnya.
"Su…. sum…..pah….pe….pemu….da"
Telinga kakaknya yang gila bergoyang-goyang ketika mendengar adiknya membaca kata-kata itu. Sampai setelah adiknya selesai membaca, kakaknya sadar dari kegilaannya dan kembali menjadi waras.
Dia keluar rumah dan berlari keliling kampung sambil melantang-lantangkan sumpah pemuda. Banyak yang diselamatkan.
(Penulis menamatkan pendidikan menengah di Seminari Kisol tahun 2018. Sekarang tinggal di Ritapiret, Maumere).