"LONCENG Angelus yang mengumandang, denting piano yang belum selesai dimainkan, hanya separuh dari ingatan yang masih hitam putih, tanpa warna.
Tangisan-tangisan yang pecah, dan cahaya lilin yang memudar hanya sedikit pertanda dari doa-doa yang belum habis dilafalkan. Sementara ibu masih sibuk menanak air mata di atas tungku dan Meti masih saja kebingungan membagikan potongan jari- jemarinya untuk makan kami yang menggelepar kelaparan.
Malam tiba dan bintang bergerak pelan. Di dalam kamar, ibu berlutut di depan arca "Sang Bunda" dengan lantunan doa yang tercekat di lehernya.
Sekali lagi, aku berdiri menghitung sisa jari Meti yang belum dikurbankan dan tetes air mata ibu yang entah telah berapa banyak kutelan."
***
Kami berempat duduk melingkari perapian yang sementara menyala ini dengan saling berpandangan. Hening, tak ada kata dan tak ada suara yang mampu keluar dari dalam mulut kami.
Mentari seolah tak menyapa kami pagi ini, hanyalah kabut dan gerimis yang datang dan mengiris. Meti tertunduk, ibu menangis tanpa suara dan kami berdua duduk memegang perut sambil bergantian memandang mereka berdua.
Tungku itu masih menyala, asap itu masih mengepul, dan periuk itu masih menggantungkan isi perut kami yang masih kosong tak terisi. Hanya diam dan air matalah santapan kami yang paling hangat pagi itu.
Kami hanyalah orang biasa yang tidak pernah tahu apa itu arti bahagia, selain dapat menyantap sepiring nasi hangat dari atas tungku kami yang menyala, dan mampu menghilangkan dahaga kami dengan segelas air putih yang bercampur dengan keringat lelah Meti dan air mata syahdu ibu.
Jangan tanyakan kami tentang sekolah, tanyakanlah kami tentang bagaimana caranya mengais air mata dari balik tumpukan tanah yang terbelah dan jangan tanyakanlah kami tentang buku-buku pelajaran, tetapi tanyakanlah kami tentang sabda-sabda yang menghantarkan Lasarus dari penderitaan dan kelaparannya menuju surga abadi.
***
Dua lelaki kekar datang bertamu ke rumah kami di pagi itu. Tamu pertama yang pernah singgah, dan tamu pertama yang hanya mampu kami jamu dengan sejuta cerita tentang penderitaan dan tangisan kami.
Sambil memamah sirih dan melinting tembakau, mereka tersenyum ke arah kami berempat. Senyuman yang ramah bagi Meti, namun senyuman yang agak sedikit aneh bagiku.
Ada anyir darah yang terselip di antara lipatan sirih dan ada aroma kematian yang terselip di antara asap tembakau yang mengepul.
Sebelum beranjak pergi kulihat mereka masih bersalaman dengan Meti dan masih menyelipkan sebuah kantong ke dalam saku ibu.
Tak tahu apa yang mereka berikan, tetapi kulihat ada senyuman yang keluar dari bibir Meti dan ada kegetiran yang bergetar di bola mata ibu.
Kami berdua hanya duduk sambil berpandangan. Sepi menyambut, sepi menyelimuti, sepi mengitari. Lalu kembali melodi itu datang menghampiri, kami menangis.
***
"Aku harus pergi adikku. Jagalah ibu dan adikmu itu."
"Kakak, jangan pergi. Biarlah bersama kita meneguk air mata di sini kak."
"Biarlah aku pergi adikku. Aku anak tertua di rumah ini, sudah sepatutnya kakak mencari nafkah bagi keluarga kita ini adikku.
Doakanlah kakakmu ini, dik. Aku pergi ke sana layaknya anak domba yang mengais di tengah kawanan serigala adikku."
"Kakak…"
***
Masih di tempat yang sama, kami bertiga duduk melingkari perapian yang menyala ini. Tak ada air mata yang keluar seperti pagi-pagi kami yang dulu.
Ibu mulai sibuk menggandakan roti dan ikan dari balik tungku dan asap yang mengepul, dengan harapan bahwa masih akan tersisa dua belas bakul untuk makan kami selanjutnya.
Sementara aku mulai sibuk mendengar saluran berita dari radio yang baru kami beli dari uang yang pernah dua lelaki itu berikan kepada ibu waktu menjemput Meti hari itu.
Aku selalu ingin mencari tahu seperti apa itu tempat dimana Meti pergi bekerja. Meti telah berjanji kalau ia tidak akan lama mencari rejeki bagi kami di sana.
Sebenarnya berat bagi kami melepas Meti pergi, tetapi kami juga membutuhkan uang itu untuk makan minum kami sehari-hari.
Kami sudah bosan menenggak air mata menjadi cerita dan kami sudah muak menyeduh peluh menjadi kematian, dan satu yang pasti kami masih bisa menyantap roti dan ikan yang ibu gandakan dan kami selalu menanti Meti kembali membawa jerami yang telah susah payah ia kumpulkan di antara kawanan serigala.
***
Di dermaga, air mata jatuh dan pecah dari bola mata kami. Meti pulang. Seperti anak domba yang dikurbankan, kakakku Meti pulang dari antara kepungan serigala.
Seperti Lasarus yang mengais sisa-sisa roti dari bawah meja makan tuannya, Meti datang kembali kepada kami. Tubuhnya kaku dan putih.
Di tempat ini kami menghantar ia dan cita-cita kami, dan di tempat ini pula kami menjemputnya kembali masih dengan cita dan cinta kami yang sama kakunya dengan tubuhnya.
Tangisan kami berlari mengelilingi peti kayu ini, dan aroma tubuh Meti bertebaran di antara keping-keping air mata kami.
Dua orang lelaki itu telah pergi, namun sisa-sisa sirih dan hangatnya tembakau masih menempel di antara tubuh Meti yang penuh dengan jahitan. Tak mampu aku memandang tubuh kaku yang terbaring di depanku itu.
Sekantong penuh berisi uang itu telah menjadi jawaban mengapa air mata ini tercipta. Tongkat sang gembala tak mampu untuk menghalau serigala dan remah roti yang jatuh tak mampu menghilangkan borok dari tubuh Lasarus.
Kupandang langit yang sementara terbuka dan kurapalkan sebait doa untuk Meti yang telah membisu. Hari ini kulihat Anak Domba yang dihantar ke tempat pembantaian, dan hari ini kulihat jiwa Lasarus terangkat naik dari bawah meja majikannya.
***
"Tanah itu masih basah, bau anyir darah masih terselip di celah-celahnya. Ada raga yang kaku terbaring, dan ada jiwa yang terhempas dan berlari. Kembang ini masih wangi kakakku, dan karangan ini masih baru adanya. Di ujung sana kalian tertawa sambil membagi-bagikan jarahan yang kalian ambil dari tubuhnya, sementara Meti masih kebingungan mencari sisa-sisa organ tubuhnya yang akan dibawa kembali kepada Allah kami."
(Penfui, Oktober 2018. Ridho Soni, Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang).
Silahkan di Add & Follow ya Kontak Resmi dibawah ini;
Dewakiukiu: Situs Poker Online Uang Asli Indonesia
Dewakiukiu: Situs Poker Online Uang Asli Indonesia
⭐️BBM : Dewakiukiu
⭐️WhatsApp 1 : 0812-9331-7443
*WhatsApp 2 : 0822-3425-8087
⭐️TELP : 0822-2883-0873
⭐️TELP : 0822-2883-0873
⭐️LINE ID : dewakiukiu
⭐️ LINE@ : @ige5008o
⭐️Twitter : @kiukiudewa / Dewakiukiu Official
⭐️Instagram : @dewakiukiu.qq / Dewakiukiu Official