Sabtu, 23 Maret 2019

Cerpen: Di Penghujung Pekan


Biaya pendidikan di wilayahku terlampau cukup mahal. Inilah alasan utama mengapa ibuku menyekolahkan aku ke pulau seberang, Kota Makasar. Menurut cerita lepas dari mereka yang sudah menyelesaikan masa studi di Makasar biaya pendidikan di Kota Makasar terbilang murah.

Ya inilah alasan yang paling pertama bagiku untuk segera berlangkah kaki menuju Kota Makasar, apalagi bukan hanya aku sendiri yang sekolah, masih ada kakak dan adikku yang membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Tujuan lain aku ke Makasar ialah untuk mencari pekerjaan supaya meringankan beban ibuku dalam hal ekonomi setelah kepergian ayah beberapa tahun silam.

"Nak jaga dirimu dan jangan lupa nasehat ayahmu untuk selalu rendah hati," nasihat ibuku ketika ia memelukku.

Perjalananku menuju Kota Makasar menggunakan transportasi laut, kapal feri. Saat aku bergegas dari rumah keluargaku sempat meneteskan air mata sebab untuk petama kalinya aku pergi ke tempat yang jauh dengan jangka waktu yang cukup lama.

Ditambah lagi musim kala itu yang cukup mengkuatirkan, musim angin timur menurut istilah orang di wilayahku.

Saat musim ini biasanya ada banyak kecelakaan yang tak terduga karena gelombang laut mengamuk seperti binatang buas. Tapi dengan bermodalkan tekad yang kuat aku tetap berangkat. Aku sungguh yakin Tuhan pasti merestui niat luhurku untuk mencari nafkah di tanah rantau.

Banyak perasaan yang berkecamuk dalam diri saat aku mendaratkan kaki di Pelabuan Tanjung Malaya. Cemas, ragu, dan bimbang.


Aku tidak tahu mau buat apa dan harus ke mana aku pergi. Sebab aku tidak memiliki keluarga atau kenalan di kota ini. Aku benar-benar datang sebagai orang asing. Aku terus duduk merenung sambil menunggu mentari merekah, sebab kami tiba dini hari di Pelabuhan Makasar. Ada hasrat untuk bertanya dengan orang sekitarku perihal nama tempat yang harus kutuju, yakni Minahasa.

Ketika aku hendak bertanya dengan salah seorang bapak, tiba-tiba ada seorang gadis jelita lewat di depanku sambil meraba uang di dalam dompetnya.

Persis di depanku, selembar uang seratus ribu jatuh dari genggamannya tanpa disadarinya. Aku yang melihatnya langsung memungutnya lalu berusaha meraihnya untuk mengembalikan uang miliknya.

"Nona tunggu sebentar," suaraku meluncur seketika dan membuatnya berbalik 90 derajat.

"Iya mas, kenapa?" Begitu syahdunya ketika kata itu dilontarkan dari bibirnya yang mungil.

"Ini uangnya nona yang jatuh tadi persis di depan aku." Tampaknya ia keheranan dan sedikit bimbang saat aku mengulurkan tanganku untuk memberikan uang kepadanya.

"Kenapa diam, " tanyaku sedikit mendesak.

"Oh, tidak mas, mekasih ya mas, mungkin baru pertama kali aku menemukan kebeningan hati yang melampaui kebeningan air sungai yang pernah kulihat, " ucapnya dengan spontan.

"Maksudnya apa ya nona," kucoba merekam maksud dari ucapannya.

"Oh enggak kok, tapi bolehkah aku mengetahui namanya mas, aku Cika," telapak tanganya langsung menggengam telapak tanganku untuk berkenalan.

"Namaku Jastin," balasku.

"Mas tinggal dimana?" Pertanyaan ini sempat membingungkan aku. Tapi aku coba mengatasi kebingunganku dengan menjawab seadanya.

"Aku belum punya tempat tinggal, aku baru pertama kali datang ke Makasar."

"Ah masa, aku tidak percaya mas, masa orang yang berkulit putih dan murah senyum seperti mas bukan asli orang sini, " jawabnya penuh penyangkalan.

"Untuk apa aku tipu dengan seorang gadis jelita seperti kamu. Aku berasal dari Manggarai." Mendengar kata terakhirku, ia langsung memelukku.

"Oh Tuhan, apakah ini sebuah mimpi sebab untuk pertama kalinya dipeluk oleh seorang gadis yang baru pertama kali kukenal," gumamku dalam hati.

"Kak, betapa bahagianya aku hari ini sebab aku bertemu denganmu. Aku memang bukan orang Manggarai asli, tapi papaku berasal dari Manggarai dan kami tinggal di Rote. Nama ayahku Gregorius Suntuk," jelasnya.

Telingaku terasa panas dan suhu hatiku tiba-tiba mendidih seketika sebab ayahnya seorang yang kubenci seumur hidupku karena ia telah menghabisi nyawa ayahku dua tahun silam atas masalah sejengkal tanah di kampung halamanku. Aku menyimpan semua perkara ini dalam hatiku.

"Apa tujuan kakak Jastin ke sini," tanyanya.

"Aku datang untuk kuliah, Cika. Di Manggarai biaya perkuliahan sangat mahal. Jadi aku memutuskan untuk kuliah di sini sambil cari kerja, " jelasku.

"Sama kak, aku juga mau kuliah, emmm kak Jastin nanti tinggal di mana? Kalau belum mendapat tempat tinggal boleh kok untuk sementara tinggal bersama aku karena papa sudah membeli satu rumah untuk aku tinggal selama aku kuliah di sini."

Aku agak keberatan karena aku membayangkan hal-hal di luar dugaan. Tapi sudalah, aku mengurung saja bayangan liarku. Aku hanya berpikir positif bahwa dialah temanku dan dialah saudariku.

"Terima kasih Cika atas tawaranya." Tapi aku kurang merasa enak jika aku tinggal serumah denganmu.

"Tidak apa-apa kak, lagipula aku juga tinggal sendirian."

"Ahh payah, " cerutuku dalam hati. Melihat aku yang kelihatan melamun dan bimbang untuk memberikan jawaban, Cika serentak menyapaku dengan suara halus.

"Kok diam, ayolah kak, aku tidak ingin kalau kakak merana dalam kesendirian di tempat ini."

Suaranya meluncur halus dengan rasa kepedulian tinggi akan nasibku.

Ya benar juga, mungkin inilah jalan yang harus kutelusuri untuk mewujudkan mimpiku di tempat ini.

"Baiklah Cika, kalau begitu kita berangkat sekarang, apalagi panas terik matahari sudah mulai membalut tubuh kami." Jawabku memuaskannya sehingga ia merangkulku dengan mesra untuk kedua kalinya. Aku tak kuasa menolakknya. Sebab bagiku ia sangat membutuhkan seorang sahabat tepatnya lagi saudara yang akan melindungi di tanah asing ini.

Jalan Melati adalah alamat yang hendak kami tujui. Sepanjang perjalanan Cika menceritakan pengalaman hidup bersama keluarganya di Rote.

Ia berani memutuskan untuk kuliah di Makasar agar ia belajar untuk hidup mandiri. Dari pengalaman yang ia ceritakan aku berprediksi bahwa ia adalah seorang anak yang berada.

Aku merasa tak layak berteman dengan Cika. Dia seorang yang berasal dari keluarga kaya sedangkan aku berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Sedikit rasa minder tapi aku tetap yakin bahwa persahabatan tidak pernah dibatasi oleh kelas apapun. Dalam bis aku hanya menjadi pendengar setia. Namun, sebenarnya aku mau merespon segala topik pembicaraan Cika, tapi aku tidak mampu mengatakannya sebab ada rasa minder yang bercokol dalam diriku.

Yang membuat aku lebih gugup lagi ialah dia menggengam tanganku erat-erat lalu tidur tepat di bahu kiriku. Saat ia menyandarkan kepalanya pada bahuku, aku merasakan kedinginan seperti berada di tengah lautan salju.

Bayangkan, seorang perempuan cantik dan kaya merasakan kehangatan pada pundakku yang kotor ini.


"Tuhan, apakah aku sedang bermimpi."

Aku membiarkan Cika terus menikmati dunia mimpinya dalam rangkulanku sebab bagiku mungkin dia merasa nyaman dan mungkin juga kecapean.

Jalan Melati sudah dekat. Aku membangunkan Cika dan setelah bangun ia memberi tanda kepada om sopir untuk berhenti. Kami menurunkan semua barang bawaan dan ketika aku hendak membayar sopir yang mengantar kami, ia mengatakan bahwa uang transpornya sudah dibayar oleh Cika.

Aku sungguh merasa kurang enak dengan Cika. Lalu aku segera membawa semua barang kami menuju ke rumah, dan Cika mendahului aku untuk membuka pintu rumah.

Aku merasa kagum dan terpukau dengan kemegahan rumah ini, aku merasa kurang layak dan pantas menginap di rumah semegah ini.

Di tengah lamunanku, Cika mengagetkan aku dengan menggengam tangan kiriku lalu mengajakku untuk masuk ke dalam rumah.

"Kak, inilah rumah kita, aku harap kakak bisa menikmati segala apa yang ada di rumah ini. Aku siapkan makanan dulu ya, kak." Aku dipersilakanya duduk di kursi tamu. Aku hanya mengangguk saat ia berkata-kata sebab tidak ada kata lain yang dapat kukatakan selain kata terimakasih untuk segala kebaikanya.

Tanpa disadari waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 Wita. Kami makan malam lalu segera beristirahat. Lalu kami kembali ke tempat tidur masing-masing.

Hampir tidak ada adegan terlarang yang kami lakukan malam ini sekalipun situasinya sangat mendukung. Keesokkan harinya Cika mengetuk pintu kamarku untuk sarapan pagi, aku baru sadar ternyata hari sudah pagi.

Kami menikmati sarapan pagi sambil mereplay pengalaman kami masing-masing saat berada di dermaga tempat pertama kami berjumpa.

Cika mulai mengayunkkan kata-kata ejekkanya kepadaku. Kak, waktu itu, aku merasa segan berpapasan dengan kakak, sebab kakak sangat cool tapi polos.

"Ah, masa. Kayaknya itu hanya perasaanmu saja. Tapi kan tidak selamanya apa yang kita prediksi itu benar," balasku.

"Tapi kak, satu hal yang pasti bahwa dalam memprediksi dan itu pasti benar," tegasnya sembari tersenyum.

"Apa itu, " tanyaku penuh penasaran.

"Perasaan," spontan ia menjawabnya. Aku tidak melanjutkan pembicaraanya sebab pada waktu yang sama Cika menerima telepon dari kedua orang tuanya untuk menanyakkan keadaan di Makasar.

Aku hanya bermenung dan bertanya dalam hati tentang pernyataan dari Cika. Maka, akupun memutuskan untuk mencari kos.

Kampus Stela Maris menjadi tempat kami memwujudkan impian. Kami sudah bersepakat untuk memilih kampus yang sama, hanya beda jurusan saja. Aku memilih prodi spesialis dokter binatang sedangkan Cika Prodi Farmasi.

Pada momen yang tak disangka, Cika mengajakku untuk lunch di salah satu kantin dekat kampus. Katanya ada hal mendesak dan penting yang harus ia sharingkan kepadaku terkait perkembangan perkuliahan selama beberapa semester.


Tuturnya lewat WA semalam ada masalah yang terjadi dengan dirinya. Ketika aku berpapasan langsung dengan Cika nampaknya tidak ada masalah apa-apa yang terjadi pada dirinya sebab ia tampak ceria dan bahagia, tapi aku tetap berpikir positif berbicara soal masalah tentu sesuatu yang subyektif.

"Kak, aku sebenarnya mau omong sesuatu dengan kakak." "Sampaikan saja Cika aku siap mendengarmu," ucapku.

"Apa yang kakak rasakan ketika berada di sampingku. Aku sangat bahagia sebab memiliki teman yang baik hati seperti Cika." spontan aku meresponnya.

"Akupun sama kak, namun perasaan bahagia yang kurasakan melebihi dari apa yang kakak rasakan."

"Maksudnya?" sambungku.

"Sejak pertama kali aku berpapasan dengan kakak, aku sendiri tak mampu menahan rasa rindu tuk selalu berada di samping kakak. Aku sudah berusaha menetralkan perasaanku tapi itu sangat sulit, kak. I love you."

"Cika, beri aku kesempatan untuk menjawabnya."

Sinar surya seakan redup seketika sekalipun hari masih pagi. Selama di dalam ruang kelas aku hanya berkutat dengan perasaanku yang penuh tanda tanya.

Pantaskah aku memiliki sang kekasih yang cantik dan baik hati seperti Cika. Ia dari keluarga yang berada sedangkan aku berasal dari keluarga petani biasa, lagipula ada satu pembatas antara aku dan Cika.

Sekalipun aku berhutang terhadap Cika karena tidak memberi jawaban yang pasti, ia selalu bersikap sewajarnya saja kepadaku ketika kami berpapasan di kampus. Segalanya terlarut dalam kebisuan dan penantian.

Akhirnya, aku berani memutuskan untuk menjadi sahabat daripada kekasihnya. Sore ini aku mengajaknya untuk menikmati makan malam di kantin Nian Tana, tempat spesial yang biasa kami kunjungi saat hendak bertemu kapan saja. Entah apa alasan yang mendasar kenapa kami memilih tempat ini, aku juga tak sempat memikirkanya. Mungkin saja menu makananya yang mengandung racikan-racikan bumbu penuh rasa.

"Cika maafkan aku, jika perasaanku kepadamu tak selebih dari seorang teman."

"Kenapa kak?" tanyanya. Aku diam seribu bahasa dan seketika itu juga ia menghilang dari hadapanku. Mustahil bagiku untuk memiliki Cika sebab ayahnya sudah menjadi pembunuh kematian ayahku dua tahun silam. Hati ini masih menyimpan dendam yang tak terobati.

Aku merasa tidak layak dan pantas berada di samping Cika. Lalu aku menorehkan secarik puisi pada sudut kado valentine yang kukirimkan kepadanya, " Cika, maafkan aku bila aku tidak mampu menjadi lilin yang menerangimu. Kuharap engkau memahami maksud hatiku ini. Dengan hati luka kuantar engkau hingga batas senja tempat kita mencurahkan isi hati kita. Inilah akhir kisah yang dapat kugoreskan.

Biarlah aku memungut hatimu namun bukan untuk memilikimu. Aku tak ingin menjadi singa yang berpura-pura hadir sebagai domba di tengah keluargamu. Sekali lagi maafkanlah aku. Sejujurnya aku juga mencintaimu, namun luka di hatiku tak mampu dihapuskan oleh aura cintamu. Ku kirimkan surat ini tanpa ada harapan untuk dibalas. Ada penghujung pekan, kala aku membaca majalah di depan halaman rumahku, aku mendapat kiriman surat dari Cika.

"Kak, aku sungguh memahami maksud isi hatimu, satu hal yang harus kakak ketahui bahwa mencintaimu adalah hal yang mudah bagiku tapi memilikimu adalah hal yang sulit bagiku. Maka aku berani mengambil keputusan untuk mencintaimu dengan memiliki Dia yang memanggilmu dan memanggilku."

Aku tersentak dan kaget ketika membacanya sebab aku tidak pernah menceritakan kepadanya tentang niatku untuk hidup membiara setelah menyelesaikan kuliah. Tapi aku bahagia karena aku dan dia sudah pernah saling mencintai sekalipun sulit untuk saling memiliki. (*)
ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
ARTIKEL SELANJUTNYA Next Post
ARTIKEL SEBELUMNYA Previous Post
 

Delivered by FeedBurner